Mukadimah UUD 1945 atau yang juga dikenal sebagai Piagam Jakarta adalah dokumen penting yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Mukadimah ini menjadi fondasi dasar negara Indonesia, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang mengikat bangsa Indonesia. Salah satu bagian dari Mukadimah yang pernah menimbulkan perdebatan sengit adalah frasa 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.' Frasa ini sempat menjadi sorotan karena dianggap memicu ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis. Apa sebenarnya pandangan para pendiri bangsa terkait frasa ini? Mari kita simak pembahasannya.
Piagam Jakarta merupakan hasil rumusan Panitia Sembilan yang dibentuk setelah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Piagam ini dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945 dan menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal saat ini. Salah satu bagian yang menarik perhatian adalah alinea keempat Piagam Jakarta yang memuat lima dasar negara, salah satunya berbunyi 'Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.'
Frasa ini menjadi kontroversial karena dianggap hanya mengakomodasi kepentingan golongan Islam, sementara Indonesia adalah negara yang plural, dengan berbagai agama dan keyakinan. Perdebatan ini akhirnya berujung pada beberapa pandangan yang berbeda dari para pendiri bangsa terkait frasa tersebut.
Salah satu tokoh yang menyatakan keberatannya terhadap frasa 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam' adalah Latuharhary, seorang Gubernur Maluku. Beliau mewakili masyarakat Indonesia Timur yang mayoritas non-Muslim, dan menilai bahwa frasa ini dapat menimbulkan konflik dengan adat istiadat serta keyakinan mereka. Frasa tersebut dianggap sebagai bentuk pemaksaan terhadap golongan non-Muslim untuk mengikuti syariat Islam, yang dapat memicu ketegangan sosial.
Di sisi lain, Agus Salim, seorang tokoh Islam, menyatakan bahwa pertikaian antara hukum agama dan hukum adat bukanlah hal baru dan telah diselesaikan dalam berbagai diskusi sebelumnya. Beliau juga menekankan pentingnya kompromi antara golongan Islam dan nasionalis untuk mencapai kesepakatan demi persatuan bangsa.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, frasa tersebut kembali menjadi isu sensitif, terutama bagi rakyat Kristen di wilayah Indonesia Timur yang menolak untuk bergabung dengan Republik Indonesia jika syariat Islam dimasukkan dalam konstitusi. Mohammad Hatta, sebagai salah satu tokoh nasionalis dan wakil presiden pertama Indonesia, melihat situasi ini sebagai ancaman bagi persatuan bangsa.
Dalam pertemuan informal yang dihadiri oleh Hatta dan beberapa wakil golongan Islam, disepakati bahwa frasa 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' diubah menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Perubahan ini dilakukan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Keputusan ini kemudian diterima dengan baik oleh semua pihak, dan frasa 'Ketuhanan Yang Maha Esa' menjadi bagian dari Pembukaan UUD 1945 yang berlaku hingga saat ini.
Perubahan frasa dalam Mukadimah Piagam Jakarta bukanlah keputusan yang diambil dengan mudah. Pendiri bangsa, seperti Hatta dan Soekarno, memahami betul bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk, di mana persatuan harus selalu diutamakan. Jika frasa 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam' tetap dipertahankan, hal itu dapat memecah belah bangsa yang baru merdeka. Oleh karena itu, keputusan untuk menggantinya menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa' mencerminkan semangat kebersamaan dan toleransi dalam negara Indonesia.
Frasa 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dalam Mukadimah Piagam Jakarta menjadi salah satu isu yang cukup sensitif dalam proses perumusan dasar negara Indonesia. Perdebatan dan pandangan yang berbeda di antara para pendiri bangsa mencerminkan tantangan dalam menyatukan berbagai golongan di Indonesia. Namun, melalui dialog dan kompromi, akhirnya ditemukan solusi dengan mengganti frasa tersebut menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa', yang kini menjadi bagian dari sila pertama Pancasila. Keputusan ini mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang selalu diutamakan oleh para pendiri negara.
Baca Juga: Indonesia Raya Memiliki Berapa Macam Stanza? Ini Jawabannya!
Baca Juga: Ini Penjelasan Faktor Penyebab Terjadinya Permasalahan Gender